Perasaan itu
kita yang punya. Kita masih bisa mengendalikannya walaupun itu susah. Tapi
cinta? Kita tak bisa memilih dan menahan dengan siapa kita jatuh cinta.
Walaupun itu harus melawan keinginan orang yang kita sayang sekalipun. Kalau
cupid sudah menembakkan panahnya, kita mau bilang apa? Dan terkadang tanpa kita
sadari, seringkali kita jatuh cinta dengan berbagai macam alasan, namun yang
perlu disadari, ketika kita jatuh cinta dan ada alasan yang mengikutinya, maka
ketika cinta itu pergi, alasan yang kita pakai pun akan ikut pergi.
- Tiara –
- Tiara –
--- ooo ---
Tiara POV
Tiga tahun aku pergi meninggalkan kota ini untuk meraih mimpiku dan menata hatiku. Ketika aku yakin hatiku sudah kuat dan tak lagi sama seperti dulu, aku pun memutuskan untuk kembali. Kujejakkan kakiku di kota ini. Masih sama, tak banyak yang berubah mungkin. Entahlah, aku sendiri tak tau apa saja yang berubah dari kota ini. Aku sengaja tak memberi tau siapapun kalau aku pulang. Ingin membuat kejutan untuk mereka. Semoga mereka suka. Sebelum aku kembali pulang ke rumah, ada baiknya aku ke kantor untuk bertemu atau sekedar melihatnya. Tapi, apa yang aku temukan di kantor tak sesuai keinginanku. Aku melihatnya jatuh pingsan tak sadarkan diri di ruangannya. Segera kubawa dia pulang. Tapi, pulang kemana? Apartemen? Ya, aku akan membawanya ke apartemennya.
"Hai, sudah bangun? Makan dulu. Gimana udah enakkan? Masih pusing atau ada yang ngga enak gitu?"
"Ara, is it you? Ini bener-bener kamu? Kamu pulang? Lho kenapa kamu bisa ada disini, kenapa aku bisa ada di apartemenku?"
"Iya, ini aku. Aku pulang. Kamu kemarin kutemuin pingsan di ruanganmu. Maaf, tanpa ijinmu, aku membawamu ke apartemenmu. Kunci kombinasinya masih sama kok dan aku masih ingat".
"Ara, kenapa kamu lakukan ini? Masihkah kamu mengharapkan aku yang jelas-jelas tak ada perasaan apapun sama kamu? Kamu tau jelas, Ra, kepada siapa aku memilih meletakkan hatiku".
"Huft, kamu tenang aja. Aku tak mengharapkan apa-apa kok. Yang terpenting adalah kamu tetap sahabatku. Ya udah, kamu sekarang makan. Habis itu istirahat. Aku mau pulang. Belum sempat pulang kemarin. Oh ya, itu oleh-oleh buat kamu. Semoga suka yaa. Aku pulang dulu. Bye."
Begitu pintu kututup, aku hanya bisa memegangi dadaku yang terasa sangat sakit. Sudah tiga tahun berlalu, dan ternyata hatiku masih rapuh belum sekuat yang aku inginkan. Aku sadar diri, ketika dia mengetahui perasaanku, aku langsung memutuskan untuk pergi meraih mimpiku. Sekarang aku kembali dan ternyata perasaan itu masih sama. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kenapa masih sesakit ini? Kuputuskan untuk pulang sebentar ke rumah dan menyapa keluargaku. Setelahnya mungkin aku akan kembali lagi ke tempat aku meraih mimpi kemarin.
"Aku pulang"
"Ara, anak mama, kamu pulang, nak? Kapan kamu datang, kok ngga bilang sama mama? Kan bisa dijemput. Pa, kak, ma, semuanya, ini Ara pulang."
"Hai, semuanya. Ara kangen kalian."
Setelah berpuas-puas melepaskan rindu, aku kembali ke kamarku dulu. Sekedar melepaskan lelah dan tidur sebentar. Setelahnya aku akan membicarakan mengenai kepindahanku kepada mereka.
"Kamu udah bangun, Ra? Sini, sayang, kita kumpul disini. Makan bareng sama keluarganya Nenek Elisa juga. Sama temen-temen kamu juga."
"Iya, ma. Tiara duduk disini aja. Halo, semuanya."
Setelah selesai bertukar salam dan kabar kemudian dilanjutkan makan. Tiba-tiba Nenek Elisa bertanya pada cucu kesayangannya. Siapa lagi kalau bukan dia.
"Yudha, gimana dengan persiapan pernikahan kamu sama Vanya. Sudah sampai manakah? Ada yang bisa Nenek bantu? WOnya gimana, udah dapat? Kalau belum, pakai WOnya Tiara aja gimana?"
Ya Tuhan! Apalagi ini. Kejutan apalagi ini? Aduh, bagaimana ini? Harus aku jawab apa sekarang.
"Ehm, kami masih membicarakan detail konsep pernikahan kami, nek. Tak apa kan kalau agak ditunda sebentar?" Kali ini giliran Vanya yang menjawab. Sedangkan Yudha hanya diam saja tak tahu mesti menjawab apa. Karena yang aku lihat, dia seperti gelisah sekali. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini, aku tak tau dan aku tak peduli.
Yudha POV
Aku masih
bingung mendapati keadaanku pagi ini ada di apartemenku sendiri, padahal yang
aku ingat dengan jelas aku kemarin masih ada di kantor dan habis menerima
telpon dari tunanganku, Vanya. Tapi, kenapa aku sekarang bisa berada di
apartemenku sendiri?Bagaimana caranya aku bisa sampai disini? Belum sempat aku
menjawab apa yang ada di pikiranku, samar-samar kucium bau harum masakan. Siapa
yang ada di apartemenku sepagi ini? Vanya-kah? Ataukah Mami? Tak mungkin kalau
Vanya, dia jelas-jelas anti dengan yang namanya per-dapuran. Sedangkan Mami,
nggak mungkin juga, beliau kan baru ada di Thailand, nemenin Papi. Terus siapa
dong? Masa iya hantu? Bergidik ngeri aku membayangkannya. Lebih baik aku
mencari tau saja daripada penasaran.
Lho itu bukannya
Tiara yaa? Sahabat kecilku yang selama ini menaruh hati padaku. Kalau Vanya tak
bilang padaku, aku tak akan pernah tau kalau Tiara menyimpan perasaannya
padaku.
"Hai, sudah
bangun? Makan dulu. Gimana udah enakkan? Masih pusing atau ada yang ngga enak
gitu?"
"Ara, is it you? Ini bener-bener kamu? Kamu pulang? Lho kenapa kamu bisa ada disini, kenapa aku bisa ada di apartemenku?"
"Iya, ini aku. Aku pulang. Kamu kemarin kutemuin pingsan di ruanganmu. Maaf, tanpa ijinmu, aku membawamu ke apartemenmu. Kunci kombinasinya masih sama kok dan aku masih ingat".
"Ara, kenapa kamu lakukan ini? Masihkah kamu mengharapkan aku yang jelas-jelas tak ada perasaan apapun sama kamu? Kamu tau jelas, Ra, kepada siapa aku memilih meletakkan hatiku".
"Huft, kamu tenang aja. Aku tak mengharapkan apa-apa kok. Yang terpenting adalah kamu tetap sahabatku. Ya udah, kamu sekarang makan. Habis itu istirahat. Aku mau pulang. Belum sempat pulang kemarin. Oh ya, itu oleh-oleh buat kamu. Semoga suka yaa. Aku pulang dulu. Bye."
"Ara, is it you? Ini bener-bener kamu? Kamu pulang? Lho kenapa kamu bisa ada disini, kenapa aku bisa ada di apartemenku?"
"Iya, ini aku. Aku pulang. Kamu kemarin kutemuin pingsan di ruanganmu. Maaf, tanpa ijinmu, aku membawamu ke apartemenmu. Kunci kombinasinya masih sama kok dan aku masih ingat".
"Ara, kenapa kamu lakukan ini? Masihkah kamu mengharapkan aku yang jelas-jelas tak ada perasaan apapun sama kamu? Kamu tau jelas, Ra, kepada siapa aku memilih meletakkan hatiku".
"Huft, kamu tenang aja. Aku tak mengharapkan apa-apa kok. Yang terpenting adalah kamu tetap sahabatku. Ya udah, kamu sekarang makan. Habis itu istirahat. Aku mau pulang. Belum sempat pulang kemarin. Oh ya, itu oleh-oleh buat kamu. Semoga suka yaa. Aku pulang dulu. Bye."
Begitu pintu
apartemenku ditutupnya, aku merasa kehilangan. Dan apa yang sudah aku ucapkan
padanya? Aku sudah menyakitinya lagi. Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Tak
lama setelah kepulangan Tiara dan aku sudah selesai membereska kekacauan di
dapur, bel apartemenku berbunyi. Begitu kubuka ternyata tunanganku yang datang,
Vanya.
“Hai, baby, aku
kangen” tanpa aba-aba, dia langsung menciumku dan memelukku dengan
menggebu-gebu. Rasanya sungguh berbeda dari yang selama ini kami lakukan. Atau memang
berbeda? Kulepaskan dan kutatap kedua matanya yang sarat akan gairah sama
dengan apa yang kurasakan. Tapi, cukup untuk hari ini. Aku harus bicara
dengannya.
“Baby, kamu
kenapa berhenti? Aku masih pingin nih. Kamu nggak liat udah menantang gini?
Kamu bener-bener nggak pingin apa ngelanjutin apa yang mesti dilanjutin, hmm? C’mon,
baby, finish this”, pintanya menggodaku.
“Not today,
baby! I want to talk!” tolakku tegas.
“Just tell me,
honestly. Bener kamu nggak ada hubungan apa-apa sama Vano? Cuma sebatas sahabat
sama seperti aku dan Vano?”
“Ma-ma-maksudmu
apa sih, baby? Kok kesannya kamu jadi nuduh aku kayak gini sih?” jawabnya gugup
dan semakin menambah kecurigaanku.
“Lho, kenapa
kamu malah jadi gugup gini sih, aku kan cuma tanya aja. Kamu kan tinggal jawab
iya atau ngga kan? Kenapa kamu jadi malah berpikir aku nuduh kamu sih?”
“A-a-aku sama
Vano murni sahabatan kok, beib. Bener deh, ngga lebih dan ngga kurang. Lagian
Vano kan sahabat kamu dan aku kenal dia juga dari kamu. So, we’re just best
friend, no more. Oke, baby, are you trust me?”
Dia semakin
gugup dan membuat apa yang selama ini aku rasakan benar. Dia benar-benar
memilih lawan yang salah. Apalagi bukti sudah aku dapatkan lengkap.
“Sebentar yaa,
aku ke kamar dulu, ambil sesuatu” kubiarkan dia berpikir yang tidak-tidak.
Jangan harap setelah ini dia bakalan tenang. Setelah kembali ke ruang tengah,
aku lemparkan copyan bukti yang aku dapatkan.
“Ini maksudnya
apa? Kamu hamil? Anak Vano? Itu yang selama in kamu sembunyiin dari aku? Terus dengan
cara itu kamu minta aku untuk tanggung jawab? Sampai-sampai kamu nyelakain
Tiara dan ngusir Tiara pergi dari negara ini? Iya? Jawab!” kukeluarkan semua
amarah yang selama ini aku pendam. Gila aja, selama ini aku tak pernah
menidurinya hanya sekedar iseng make-out aja, ngga pernah lebih dari itu. Aku memang
brengsek tapi aku masih berpikir seribu kali untuk tidur sama cewek yang
notabenenya belum jadi istriku.
“I-ini” tergagap
dia menjawab pertanyaanku. Wait-wait, kenapa dia malah melepas pakaiannya?
“Baby, kenapa
sih kamu lebih peduli sama kata orang, lebih peduli sama foto-foto? Kenapa kamu
ngga mau nyobain tubuh aku? Ayolah, baby, aku tau kok apa yang kamu mau. Aku bantuin
ya buat lepasin baju kamu” bujuknya sesensual mungkin padaku. Bikin aku pingin
muntah.
“Pakai pakaian
kamu, atau kamu mau aku laporin ke polisi dengan tuduhan percobaan pembunuhan
dan percobaan perkosaan atas diriku dan Tiara? Pilih jawab jujur atau kulaporin
ke polisi?” teriakku padanya. Dia semakin ketakutan dan kembali memakai
pakaiannya. Huft, untung kuat iman.
“Oke, aku
bakalan jawab jujur. Iya, aku hamil anaknya Vano. Kami sering make-out dan
akhirnya kami tidur bersama. Aku memang yang nyelakain Tiara dan ngusir dia
karena aku ngga pernah suka sama dia. Dan aku tetap akan ngelanjutin hubungan
ini sampai kita nikah. Aku ngga peduli kamu mau terima bayi ini atau ngga, yang
jelas aku ngga akan pernah biarin kamu sampai jadi sama Tiara” bentaknya sambil
menangis terisak.
Hebat banget
pikiran ini cewek. Ngga sudi aku nikah sama dia. Aku tau dia tetep pingin nikah
sama aku biar dia tetap bergelimangan harta. Padahal Vano ngga ada bedanya sama
aku, dia juga tajir dan tentu aja dia agak bego. Mau-maunya dikadalin sama ini
cewek sableng. Lebih baik aku jalankan saja rencanaku selanjutnya. Tunggu saja,
Vanya. Liat apa yang akan aku lakukan ke kamu.
“We will see,
Vanya. Sekarang lebih baik kamu pulang. Kita ketemu di rumah Nenek, oke? Bye,
see you” usirku padanya agar dia segera pergi dan aku bisa melaksanakan
rencanaku.
Sore harinya
dirumah Nenek..
"Kamu udah
bangun, Ra? Sini, sayang, kita kumpul disini. Makan bareng sama keluarganya
Nenek Elisa juga. Sama temen-temen kamu juga."
Kudengar langkah
kaki dari sahabat kecilku. Hatiku teriris sakit mengingat aku tak pernah bisa
melindunginya dari cewek sableng yang sekarang duduk di sebelahku.
"Iya, ma. Tiara duduk disini aja. Halo, semuanya."
Setelah selesai bertukar salam dan kabar kemudian dilanjutkan makan. Tiba-tiba Nenek Elisa bertanya padaku.
"Iya, ma. Tiara duduk disini aja. Halo, semuanya."
Setelah selesai bertukar salam dan kabar kemudian dilanjutkan makan. Tiba-tiba Nenek Elisa bertanya padaku.
"Yudha, gimana dengan persiapan pernikahan kamu sama Vanya. Sudah sampai manakah? Ada yang bisa Nenek bantu? WOnya gimana, udah dapat? Kalau belum, pakai WOnya Tiara aja gimana?"
"Ehm, kami masih membicarakan detail konsep pernikahan kami, nek. Tak apa kan kalau agak ditunda sebentar?" Kali ini giliran Vanya yang menjawab. Kubiarkan saja dia menjawab. Tahan, baby, tahan, sebentar lagi kejutanmu akan segera tiba.
“What?! Vanya!
Apa-apaan kamu?! Kamu tetep mau nikah sama Yudha? Kamu gila?! Terus bayi yang
ada di perut kamu itu gimana? Bayi itu anak aku, hasil dari kita berdua, dan
sekarang kamu mau tetep minta Yudha nikahin kamu? Kamu ngga waras, Vanya!”
teriak Vano dari seberang meja.
Aku tertawa
dalam hati. Kubiarkan mereka terbengong-bengong mendengar teriakan Vano. Kali ini
giliranku.
“Maaf, Pi, Mi,
Nek, semuanya. Yudha ngga bisa melanjutkan pertunangan ini hingga nanti sampai
ke pernikahan. Vanya hanya mengincar harta Yudha saja. Dia menuntut Yudha untuk
tanggung jawab akan apa yang ngga pernah Yudha lakukan. Sampai dia berani
menyakiti Tiara dan mengusir Tiara dari negara ini. Maafkan Yudha, Pi, Mi, Nek,
Pa, Ma, Oma, semuanya” cicitku tegang menunggu jawaban mereka.
Tak kusangka tak
kuduga, kakak kesayanganku, Ferril, merangkulku dan memelukku. Tak lupa juga
orang tuaku, nenekku, oma, sahabat-sahabatku. Aku sempat bingung sebentar kalau
saja tak kudengar kakakku berbicara.
“Oke, Vanya,
kamu sudah dengar kan apa kata Yudha? Lebih baik sekarang kamu pulang dan
mintalah pertanggun jawaban pada Vano. Percayalah kalian berdua cocok kok. Kami
tak akan mempermasalahkan lagi kesalahanmu pada Yudha dan keluarga kami serta
Tiara dan keluarganya. Tapi, kalau sampai kami mendengar kamu masih ingin
berniat mencelakakan salah satu dari kami, kamu tanggung sendiri akibatnya dan
pada saat itu, aku bisa pastikan Vano tak akan ada disampingmu untuk membelamu
begitu juga dengan anakmu. So, Vano, tolong kamu bawa Vanya pergi dari sini.
Kami masih harus menyelesaikan beberapa persoalan lagi disini. Terima kasih,
Vano, Vanya”
Vano segera
membawa Vanya si cewek sableng itu pergi. Tak kudengar cacian dan makian yang
keluar dari mulut sadis itu. Lebih baik aku selesaikan permasalahan yang masih
tersisa saat ini, yaitu hatiku.
Kuhampiri dia
yang sedang asyik menyantap makanan yang ada di piring. Hei, apakah makanan itu
lebih oke dari aku? Apa lagi ini yang aku pikirkan?
“Hei, Ra. Boleh
aku bicara sebentar sama kamu?” kulihat anggukan kepalanya dan itu cukup
untukku.
Perlahan aku
bersimpuh di hadapannya. Dia terlihat hendak memprotes tindakanku. Tapi segera
kugelengkan kepalaku memintanya untuk tak memprotes apapun.
“Ra, aku minta
maaf kalau selama ini aku menyakitimu. Aku tak pernah ada disampingmu, aku tak
pernah melindungimu. Maafkan aku. Aku hanya ingin kamu tau, kalau sebenarnya
selama ini setelah kamu pergi, aku tau semua kebusukannya, Ra. Tapi, aku
mencoba bertahan hanya demi melindungimu dan menahannya agar tak melukaimu lagi”,
kulihat air matanya turun perlahan di kedua pipinya, segera kuhapus dan kulanjutkan,
“Aku sengaja menahannya untuk mendapatkan bukti atas kejahatannya. Thanks to
Vano dan teman-teman dan keluarga yang mau membantuku. Intinya, aku, kami ingin
melindungimu dari cewek sableng itu. Aku tak tau bagaimana caranya Vano
berhasil mengelabuinya hingga membuat Vanya hamil. Aku memang ngga sempurna,
Ra. Tapi, aku pingin ketidaksempurnaanku disempurnakan oleh kamu. Kamu tak
pernah bertanya selama ini siapa pemilik hatiku, kepada siapa aku meletakkan
hatiku. Kamu, Ra, aku memilih meletakkan hatiku padamu sejak mata indahmu
berhasil membiusku di hari pertama kamu lahir ke dunia ini. Aku tau perasaanmu
masih sama padaku. So, menikahlah denganku, Ra. Sempurnakan ketidaksempurnaanku.
Karena bahagiaku itu kamu, felizmente yo fuera tú. Te amo, Ra” dia semakin
terisak. Kuraih dia kepelukanku. Bukannya membuat tangisnya mereda tapi malah
semakin deras. Hingga kata-kata itu kudengar lirih hampir seperti bisikan.
“Terima kasih,
Yud. Aku tak menyangka kamu mengorbankan dirimu sebegitu besar untukku. Dan ya,
aku mau menikah denganmu. Aku mau menyempurnakan ketidaksempurnaanmu, karena
bahagiaku itu kamu, felizmente yo fuera tú. Yo también te quiero, Yudha”
Tanpa pikir
panjang, kupeluk dia erat-erat dan kucium puncak kepalanya hingga deheman keras
dari sang Mama menyadarkanku kalau kami tak sendiri saat ini.
Tak lama
kemudian, aku beranjak pamit dan dengan sedikit paksaan aku mengajak Tiara,
calon istriku ikut bersamaku, pulang ke apartemen. Walaupun diiringi dengan
tatapan tajam tapi aku berhasil meyakinkan kalau Tiara akan aku kembalikan utuh
besok pagi. Aku hanya ingin bicara berdua dengan Tiara tanpa ada gangguan dari
siapa pun.
Saat di apartemen..
Kuajak dia duduk
di balkon tempat favoritku selama ini. Kusenderkan kepalanya di bahuku. Kami hanya
berbincang-bincang ringan hingga entah siapa yang memulai, bibir kami sudah
saling berpagut dan saling mencecap. Oh Tuhan, kenapa rasanya begitu nikmat. Hingga
tanpa kami sadari, hal yang tak kami inginkan dan kami rencanakan terjadi
begitu saja.
Saat tersadar
pagi harinya, aku melihat wajahnya begitu dekat. Tanganku tak lepas dari
pelukan hangat di tubuhnya. Aku hanya bisa berharap ini semua akan terjadi sama
seumur hidupku dan itu hanya dengan dia, Tiara-ku.
--- ooo ---
17 Februari 2015
Butuh waktu
seminggu lebih dikit buat nyelesaiin cerita ini. Ide ada di kepala, tapi begitu
dituangin di tulisan ngga sesuai dengan apa yang diharapkan. Cerita ini aku
persembahkan khusus untuk mba Desi_Tham yang sedari tadi sore bikin saya
ketawa dengan commentnya. “Saya daftar jadi Lovely Clairvoyant deh, mba. Cocok
ngga? Hahaha…”
Be First to Post Comment !
Post a Comment
Tulis komentarmu dengan bahasa yang sopan dan tinggalkan Nama/URL yaa, biar bisa langsung saya BW :)