Judul Cerita : Over The Rain
Penulis Cerita Asli : Asri Damayanti Tahir
Judul OTR Challenge : Love Destiny
Penulis OTR Challenge : princessashr
Hai.. hai.. Ketemu lagi dengan aku disini.. Kali ini aku mau nulis cerita yang kemarin iseng aku bikin buat OTR Challenge di situs orange, wattpad. Walaupun nggak menang, tapi, setidaknya aku udah seneng banget, ceritaku nampang dan dibaca orang-orang..
Dan inilah pembuka serta coretan ceritaku..
Check it out..
Hoyaa.. Iseng ahhh, coba ikutan challengenya mba asharliz. Padahal udah punya novelnya lhooo.. Kalau semisal aku menang, boleh diganti sama novel yang baru ngga, mba? *tetep usaha ngerayu*. Semoga ceritanya nggak bikin ilfeel yaa. Bikinnya mendadak dangdut soalnya. Cekidot..
Tiga bulan kemudian..
Ya, katakanlah aku
pengecut. Aku memang ditakdirkan untuk menjadi pengecut permanen
rupanya. Tak ada yang bisa kulakukan tatkala melihat kekasih hatiku
bersanding kembali dengan mantan suaminya, Reza. Kalaupun ada yang bisa
kulakukan, pastinya tak akan aku lakukan, karena aku tahu itu hanya akan
menambah rasa sakit di hatinya. Sudah cukup, aku menyakitinya.
Menyakiti Rayya semenjak dia masih dalam kandungan. Dosaku sudah cukup
banyak. Memisahkan wanita yang aku cintai dari anak dan suaminya.
Memisahkan janin dalam kandungan dari ayahnya. Aku tak ingin menambah
dosa lagi. Aku tak ingin merasa sakit lagi. Karena itu kuputuskan pergi
sejenak dari mereka, bukan dari mereka sebenarnya, tapi dari Bulan,
yaa.. Wanitaku, Bulanku. Kini aku paham, jika Bulan dan Bintang tak akan
pernah ditakdirkan bersama sekalipun di Langit Malam. Hanya bisa
bersanding tanpa bisa saling memiliki.
Di kota ini, aku tinggal
sendiri. Entah kenapa, kali ini aku tak memiliki ambisi apapun itu
dalam hidupku kecuali membesarkan perusahaan keluargaku. Walaupun orang
tuaku memaksaku untuk segera menikah, aku tetap masih bergeming dengan
kesendirianku. Perasaanku ikut terkubur bersama dengan keputusanku kala
itu, merelakannya bersama kembali dengan cinta sejatinya. Huft.. Untuk
apa aku mengingat kembali ke masa lalu, cukuplah kujadikan pelajaran
dalam hidupku. Semoga saja, kelak aku bisa bertemu dengan seseorang yang
mereka sebut tulang rusukku, separuh nafasku, separuh jiwaku. Semoga
saja..
Lamunanku buyar seketika tatkala kudengar ketukan di pintu ruang kerjaku..
"Permisi, Bapak Bintang yang terhormat"
Ampun dah, nyonya besar datang, alamat ceramah pindah kesini deh.
"Mama, kapan datang? Kok nggak bilang sama Bintang dulu kalau mau datang. Kan bisa Bintang jemput, mam. Sama papa nggak, mam?"
"Mama barusan aja
datang. Kamu ini dari kemarin mama telepon nggak pernah diangkat. Gimana
kamu bisa tahu kapan mama mau datang. Papamu lagi ngobrol sebentar sama
Pak Handi"
"Maaf, mam. Kemarin
Bintang seharian rapat. Nggak sempat lihat HP. HPnya Bintang silent,
mam. Tu mpe habis batterynya, baru Bintang charge. Maafkan Bintang ya,
mam"
"Ya sudahlah, sudah
terlanjur juga kan, mama sama papa udah sampai sini juga. Oh ya, nak,
kamu sibuk nggak minggu depan? Mama mau kamu pulang sebentar aja nggak
apa-apa kok. Ada pesta ulang tahunnya Rayya, anaknya Bulan. Dia minta
mama buat ngundang kamu juga. Bisa kan, nak?"
Ya ampun, mam. Ini
anakmu masih dalam taraf move on, kenapa malah diminta datang ke ulang
tahunnya anaknya Bulan, Rayya. Ampun deh. Huft, pasang muka semanis
mungkin. Oke, kamu bisa, Bintang.
"Bingang coba yaa, mam.
Lihat jadwal Bintang juga. Takutnya nanti ada rapat dadakan yang
mengharuskan Bintang terbang ke negara mana lagi. Nanti Bintang kabari
mama, oke?"
Tak kuasa aku melihat
raut sendi di wajah mamaku. Tapi, percaya, hanya sebentar saja raut
wajah itu akan berubah kembali seperti semula.
"Oke, oke.. Mama tunggu
kabar kamu. Oh ya, Bintang, kapan itu sewaktu mama pulang dari belanja
sama Bibi, ada seorang wanita yang datang ke rumah. Mama nggak tahu dan
mama belum pernah ketemu sama wanita itu. Tapi, kalau dilihat-lihat sih,
cantik dan kayaknya lagi hamil deh. Sewaktu mama deketin, dia keburu
pergi. Setelah itu, dia nggak pernah datang lagi ke rumah. Hanya sekali
itu aja, nak. Kira-kira siapa yaa?"
Deg! Apa tadi mama bilang? Wanita cantik dan kayaknya lagi hamil? Jangan bilang kalau itu.. Aaarrrggghhh..
"Mam, Bintang pergi dulu yaa.. Nanti Bintang telepon. Oke?"
Aku hanya bisa berlari
dengan kecepatan yang aku punya, sembari menelepon asistenku untuk
mencarikanku tiket pulang dan mereschedule semua jadwal-jadwalku. Entah
kenapa, feelingku mengatakan jika memang dia yang datang. Wanita yang
sama-sama merasakan sakit sepertiku dan yang sudah kucari kemanapun
selama ini. Entah aku yang bodoh atau dia yang pandai bersembunyi.
Jakarta..
"Mas Bintang, kok mendadak pulang, mas? Bukannya ibu sama bapak baru di Inggris ya, mas?"
"Pak Min, tolong jangan
banyak tanya dulu yaa.. Sekarang tolong antarkan saya ke alamat ini.
Cepetan ya, pak, nggak pakai lama. Makasih"
"I.. Iya, mas Bintang"
Semoga dia masih ada disana. Semoga, Tuhan masih berbaik hati padaku yang penuh dosa ini. Semoga.
Rumah ini, sudah
beberapa bulan sejak terakhir aku mengantarkannya pulang setelah
menghabiskan malam bersama, malam yang terlarang. Masih cantik namun
sedikit tak terawat. Apakah mungkin dia sudah tak lagi tinggal disini?
Tok.. Tok.. Tok..
Tak perlu waktu lama
pintu yang kuketuk perlahan terbuka. Dan wajah itu, wajah yang sama
seperti malam itu. Raut wajahnya menunjukkan keterkejutan tatkala
melihatku. Hampir saja pintu itu tertutup lagi, tapi berhasil kucegah.
"Pak Min, tolong pulang
saja. Dan jika mama nanya, bilang saja saya lagi ada keperluan. Dan
jangan sampai antarkan mama kemari, mengerti, pak Min? Makasih"
"Baik, mas Bintang. Saya pamit pulang dulu"
Pintu itu pun kembali tertutup seiring dengan kepergian pak Min. Huft.. Sepertinya hari ini akan menghabiskan banyak energi.
"Kamu apa kabar? Kemana
aja selama ini? Aku udah nyari kamu di kantor, di apartemen kamu, dan
dirumah ini. Tapi, tak ada satu pun jejak yang menandakan kamu ada di
kedua tempat itu. Aku frustasi, kamu tahu itu, huh? Entah aku yang
terlalu bodoh atau kamu yang pintar bersembunyi. Kita perlu bicara!"
Kataku tegas tak ingin dibantah.
"A-aku tak pernah pergi
kemana pun. A-aku memang sempat cuti dari kerjaanku di kantor. Aku hanya
bingung. Aku nggak tahu lagi mesti gimana. Aku takut jika kejadian
malam itu akan membawa banyak perubahan dalam hidupku. Ternyata.. Hiks..
Hiks.. Aku baru mengetahuinya 3 minggu yang lalu kalau..hiks..hiks.."
Pernahkah kukatakan jika
aku tak pernah sanggup mendengar dan melihat seorang wanita menangis?
Walaupun itu seseorang yang aku benci sekalipun. Tapi, entah mengapa,
mendengar dia menangis seperti ini, aku semakin tak sanggup
mendengarnya. Tangisan yang terdengar menyayat hati. Perlahan dan dengan
keragu-raguan, aku mendekatinya dan kupeluk tubuh mungilnya.
Ketakutanku beralasan tentunya. Aku takut dia memberontak di pelukanku.
Apalagi dengan kondisi dia sekarang ini.
"Ssttt.. Tenanglah..
Jangan lagi menangis.. Katakanlah apa yang ingin kau katakan. Aku sudah
berjanji bukan jika apapun yang terjadi malam itu, aku akan bertanggung
jawab. Sekarang, katakanlah apa yang kamu ketahui 3 minggu lalu? Hmm.."
"A-aku hamil. Aku mesti
gimana? Mamaku pasti marah besar jika nanti beliau tahu. Aku takutttt..
Sekarang masih aman, karena Mama lagi keliling Amerika bersama Tante.
Ta-tapi nanti kalau beliau pulang dan tahu aku sekarang ini, aku
bingung"
Kuusap pelan
punggungnya. Sial, hanya mengusap punggung saja, tubuhku sudah mulai
bereaksi tak normal seperti ini. Ini udah nggak wajar. Tak pernah
tubuhku bereaksi tak normal seperti ini sekalipun dengan Bulan. Kenapa
lagi-lagi Bulan yang teringat di otakku. Huft.. Kuhembuskan nafasku
kasar. Sepertinya tak aman jika berbicara dengannya di sini. Harus
pindah tempat. Karena bisa saja mamanya datang tiba-tiba.
"Kamu ikut aku yaa, kita
bicara di tempat lain ya. Aku nggak ingin pembicaraan kita terganggu
sama siapapun itu. Sekarang, kamu beresi pakaianmu, bawa secukupnya. Aku
akan membawamu bepergian sebentar ke tempat yang tak pernah diketahui
orang. Tenang, aku tak mempunyai niat buruk padamu. Aku hanya ingin kita
bicara dengan aman tanpa gangguan. Oke?!"
Kulihat dia
menganggukkan kepalanya cepat. Takut jika aku bertambah marah, mungkin.
Padahal sedari tadi aku tak marah, hanya kesal karena dia menghilang.
Tak tahukah dia bagaimana aku disana memikirkan keadaannya. Dosaku sudah
cukup banyak ditambah sekarang kenyataan ini. Menambah deretan dosaku
yang entah kapan akan diampuni.
Tak sampai sepuluh menit
dia keluar kembali dari dalam ruangan, kamarnya kukira. Hanya satu
koper besar yang dia bawa, selebihnya tak ada. Apa dia berniat pergi
beneran yaa? Dikiranya aku ngajakkin piknik apa yaa?
"Mana kunci mobil kamu, hmm..?" Kutanyakan padanya yang sedari tadi hanya diam.
"I-ini kuncinya, ada bensinnya kok" Kuusap pelan pipinya sambil tertawa kecil. Tak menyangka jawaban yang diberikan.
Tak lama, mobil ini pun membelah jalanan yang teramat padat. Namun ada satu yang kutakutkan, kondisi dia, apakah baik-baik saja.
"Kamu nggak apa-apa kan? Baik-baik aja kan? Babynya gimana?"
Dia kaget tatkala
kutanyakan tentang baby yang ada dalam kandungannya. Anakku, anak kami
berdua. Kulihat rona merah di pipinya. Dia tersipu malu.
"Baik-baik aja kok.
Sebenarnya kita mau kemana? Kalau boleh, mampir ke apotek sebentar, aku
mau beli vitamin untuk kandunganku. Vitaminnya habis dan aku belum
sempat ke dokter lagi"
"Oke, siap laksanakan,
mom" Kerlingan di mataku cukup membuatnya tertawa kecil. Ahhh, akhirnya
dia kembali seperti dulu lagi. Riang, ceria dan suka tertawa.
"Kamu tunggu disini yaa, biar aku yang beliin vitaminnya. Resepnya mana?"
"Haa? Nggak usah, aku aja. Nanti kamu malu dan bingung"
"Nggak apa-apa kok, udah santai aja. Sekarang mana resepnya?"
"Kita beli berdua aja yaa, biar kamu nggak malu, please"
Kukedikkan bahuku
sembari keluar dan membukakan pintu untuknya. Tak lama setelah vitamin
yang dia inginkan sudah terbeli, kami melanjutkan perjalanan kembali.
Kali ini ke satu tempat yang bahkan orang tuaku tak pernah tahu. Rumah
impian yang sudah kusiapkan untuk seseorang yang kukasihi. Namun belum
jadi, dia sudah terlepas. Tapi, pembangunannya tetap berjalan seperti
sedia kala. Hanya saja merubah sedikit bentuk rumahnya.
"Nah, kita sampai. Hei, bangun.. Kita udah sampai. Friska, bangun.. Nanti dilanjutin tidur di dalam yaa"
"Ini dimana? Kamu bawa aku kema.."
Dia beranjak turun dan kulihat binar di matanya. Tuhan, buat aku jatuh cinta dengan wanita ini, calon ibu dari anak-anakku.
"Ini rumahnya bagus banget, keren banget, Bintang. Ini rumah siapa?"
"Ini rumah aku, yuk masuk, lihat ke dalam, kamu pasti suka"
Anggukan kepalanya teramat mantap. Aku hanya bisa tertawa kecil melihatnya.
"Bintang, keren banget
sih rumahnya. Sumpah yaa.. Kamu bikinnya asyik banget. Kreatif banget
sih.. Kayak yang aku pingin selama ini kalau punya rumah sendiri..
Hehe.."
Deg! Senyumnya, tawanya.. Aku hanya bisa terdiam melihat itu semua. Hatiku menghangat melihatnya.
"Kamu suka? Ini buat kamu, buat anak kita nanti"
"Ma-maksud kamu apa, Bintang?"
Aku melihat keterkejutan
di matanya. Kubimbing dia untuk duduk di kursi yang ada di ruang
keluarga ini. Setelah memastikan dia duduk, aku bergegas ke dapur untuk
mengambilkan minum. Aku takut pembicaraan panjang kami membuat dia dan
bayi kamu kehausan.
"Friska, lihat aku. Kamu
suka sama rumah ini kan? Persis seperti mimpi kamu kalau punya rumah
sendiri. Itu kan yang tadi kamu bilang? Nah, terus kenapa sekarang kamu
kaget gitu waktu aku bilang rumah ini buat kamu, buat anak-anak kita
nantinya? Friska, nggak mungkin kamu membesarkan anak kita nanti
sendirian sedangkan aku ada, aku mampu untuk membesarkan bersama kamu.
Sekali ini aja, friska, aku minta, menikahlah denganku. Jadilah istriku,
ibu dari anak-anak kita nanti. Aku tahu, kita memulai dengan sesuatu
yang salah dan tanpa cinta. Tapi, jadikanlah anak kita ini alasan utama
untuk kita memulai sesuatu yang baru bersama-sama. Kamu mau kan,
menerima aku untuk menjadi suami kamu? Menerima segala kekuranganku
bahkan menerima aku yang belum mencintai kamu?" Pintaku padanya.
"A-aku nggak tahu,
Bingang, ini terlalu cepat. Kita bahkan baru ketemu kurang dari 24 jam
setelah 3 bulan lamanya tak ketemu dan sekarang kamu memintaku untuk
menjadi istrimu? Ini mustahil, Bintang. Aku nggak tahu.."
"Aku trauma sama yang
namanya pernikahan. Orang tuaku bercerai dan aku takut akan seperti
mereka. Ta-tapi, aku juga nggak ingin nanti anakku mengalami hal yang
sama seperti aku. Hanya memiliki ibu tanpa ayah disampingnya. Aku takut,
aku bingung.. Hiks.."
"Friska, dengar aku. Aku
janji sama kamu untuk memberikan kamu kebahagiaan. Jaminannya seluruh
hidup aku untuk kamu, Friska. Kalau sampai aku menyakitimu, kamu boleh
melakukan apapun itu, termasuk jika kamu ingin membunuhku sekalipun.
Tapi, percayalah, aku akan selalu memberikanmu kebahagiaan. Tak akan
kubiarkan tangisan kesedihan hadir di matamu. Aku akan memberikan
tangisan kebahagiaan. Kamu mau kan?"
"I-iya, Bintang. Aku mau. Janjimu kupegang. Aku nggak mau anakku mengalami hal yang sama seperti aku"
Kupeluk dia erat. Kuusap
punggungnya pelan. Sial, double sial. Kenapa malah kembali bereaksi
nggak normal gini sih ini tubuh. Gawat, harus ada pengalihan ini.
"Hmm.. Friska, no telepon orang tuamu? Setidaknya aku ingin memintamu secara baik-baik. Video call bisakah?"
Dua puluh menit aku
lakukan untuk menelepon mamanya Friska. Beliau memang marah, karena aku
merusak anak gadisnya. Tapi, beliau mengijinkanku untuk menikahi
anaknya. Dua puluh menit kemudian kulakukan untuk menelepon papanya.
Tanggapan datar yang dia berikan. Ketika kuminta kesediaannya untuk
menikahkan Friska denganku, dia hanya menjawab singkat, padat, jelas.
Wakilkan dengan wali hakim saja. Huhhh.. Terbuat dari apa sebenarnya
hatinya papanya Friska ini.
Kulihat dia sedang asyik
melihat-lihat interior rumah ini, calon rumahnya. Aku masih asyik
menelepon orang tuaku yang langsung semangat untuk pulang kembali ke
tanah air walaupun sebelumnya sempat marah-marah karena kutinggalkan.
Aku hanya meminta mereka untuk pulang sesuai jadwal karena tak mungkin
mereka bisa datang ke pernikahanku kalau aku ingin menikah besok pagi.
Segera setelah urusan
dengan para orang tua selesai, aku meminta bantuan asistenku di Jakarta
untuk segera menguruskan berkas-berkasku untuk menikah. Aku ingin
menikahinya besok dan besok sudah harus ada penghulu datang ke rumahku
ini. Kubayangkan wajah Erick tatkala kuberikan titah seperti ini.
Biarlah, dia bingung harus bagaimana.
"Friska, kamu lapar? Mau makan apa? Biar aku buatkan sebentar"
"Kamu bisa masak? Unbelievable. Seorang Bingang yang egois, pengecut, bisa masak? Boleh keprok-keprok nggak?"
"Jangan ketagihan aja nanti kalau sudah mencoba masakanku"
Malam ini kami habiskan
dengan segala macam cerita selama 3 bulan kami tak bertemu. Dan bisa
kutebak, dia kaget begitu mengetahui keinginanku menikahinya esok hari.
Dia hanya bisa menangis mendengar jawaban ayahnya. Ketidakhadiran ibunya
dan orang tuaku. Aku bisa apalagi selain memeluknya dan mengusap
punggungnya.
"Mandilah setelah itu tidurlah. Aku siapkan tempat tidurnya dulu"
"Bintang, temani aku sampai aku tidur, aku takut mimpi buruk itu datang lagi"
Hmm.. Sepertinya nanti malam aku harus mandi air dingin kalau ceritanya seperti ini.
"Oke, kamu nggak takut
nanti terjadi apa-apa sama kita kalau berduaan gini? Kita belum sah,
Friska, kamu tahu itu kan? Walaupun yaa, memang sudah kejadian juga sih
malam itu hingga ada baby di dalam perut kamu. Hallo, anak ayah.
Baik-baik ya di dalam perut ibu. Jangan nakal yaa. Maaf, ayah baru bisa
menyapa sekarang. Ayah habis pergi jauh, tapi ayah bawa banyak oleh-oleh
buat kamu, nak. Sehat terus yaa, nak"
Dia langsung memelukku
erat, kurasakan bahunya bergetar. Aku tahu dia menangis karena bahagia.
Hingga aku merasakan kakiku tak lagi menginjak bumi tatkala kudengar
bisikannya, "Aku sayang kamu, Bintang"
Kubaringkan dia, kuelus
rambutnya sebentar dan kukecup keningnya. Dia tertidur dengan senyum
yang indah, "Selamat malam, Friska, tidurlah yang nyenyak, mimpilah yang
indah. Aku menyayangimu"
Esok hari adalah awal
dari kehidupan kami yang baru. Tanpa Bulan dan Reza kami tak akan
bertemu. Tanpa Bulan dan Reza, aku tak akan bisa merasakan rasa ini.
Terima kasih sudah mempertemukan kami. Esok memang awal untuk kami, tapi
kami yakin dan percaya jika kami akan selalu bersama. Sesuatau yang
kami mulai salah ternyata membawa hikmah yang luar biasa indah untuk
kami. Siapa yang menyangka jika jodohku adalah Friska, gadis yang sudah
terang-terangan sejak awal antipati terhadapku. Gadis yang sama-sama
merasakan sakit melihat orang yang kami cintai bersanding kembali. Jodoh
memang tak terduga. Jika saja mamaku tak bilang melihat seorang gadis
berdiri di depan rumah, aku tak akan mengetahuinya. Dan aku tahu, ini
adalah takdir cinta yang sudah Tuhan gariskan untukku. Aku harus
melewati Bulan dulu hingga bertemu dengan Friska. Tuhan tahu jika Bulan
dan Bintang memang tak pernah bisa bersatu. Tapi, Tuhan juga tahu, jika
Bintang dan Friska akan bersatu untuk selamanya.
--- 000 ---
Sebenarnya
ide cerita awalnya nggak kayak gini, tapi nggak tau kenapa pas udah
nulis, malah mengalirnya ceritanya kayak gini. Kebanyakan narasi
sebenarnya. Semoga pembaca suka.
Be First to Post Comment !
Post a Comment
Tulis komentarmu dengan bahasa yang sopan dan tinggalkan Nama/URL yaa, biar bisa langsung saya BW :)