Image Slider

21 January 2015

Melepasmu adalah Bahagiaku



Hari ini tepat setahun.

Waktu setahun ternyata tak cukup untuk melupakan, mematikan rasa. Sengaja menghilang ternyata tak cukup untuk akhirnya tak bertemu lagi dengannya.


Tuhan memang punya kuasa diatas semua kejadian ini. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia yang mempertemukan, Dia yang memberikan jawaban atas segala doa, Dia pula yang akhirnya mempertemukan kembali. 


Kenangan demi kenangan pelan-pelan muncul kembali. Rasa yang lama sudah mulai pudar, muncul kembali. Pertanda apakah sebenarnya?


20 January 2015

It's always been you

Hamparan pasir di sebuah pantai terlihat sangat mempesona ditambah dengan suara air laut yang sangat tenang. Senja yang dating menggiring mentari yang redup dalam biasnya mengusung warna keemasan yang cantik. Di antara berpuluh-puluh manusia yang memadati segala pandang, tampak dua orang anak kecil sedang asyik bercengkrama. Mereka tampak tak mempedulikan keadaan sekitar, tetap asyik bermain sembari bercanda. Dari kejauhan, orang tua kedua anak tersebut hanya diam memperhatikan. Tak lama kemudian, salah satu dari kedua orang tua anak tersebut memanggil mereka. Membuat mereka dengan seketika menghentikan kegiatan mereka dan segera berlari mendekati kedua orang tuanya.

“Cresentia, Alvaro, kesini, nak. Udah mau maghrib, sebaiknya kita segera pulang. Ayo, sayang.”

“Iya, mi, sebentar. Tia, ayo, cepetan. Jangan kelamaan. Udah biarin aja istananya.”

“Tapi, aku suka sama istananya, Al. Istananya bagus banget.”

“Ya udah, besok kalau udah gede, Al bikini Tia istana yang indah dan bagus deh. Letaknya di deket-deket pantai. Gimana? Tia mau kan nunggu Al gede terus bikini Tia istana seperti yang Tia mau?”

“Beneran, Al? Janji?”

“Iya, Al janji. Dan Al mau Tia nunggu Al. Al mau jadiin Tia ratu di istana yang Al bikin nanti.”

Dan sepasang jari kelingking itupun bertautan menandakan keduanya berjanji untuk menepati janji masing-masing.

“Yuk, jeng, mas, kami pulang duluan. Next time, kita liburan bareng lagi yaa. Mumpung, anak-anak masih kecil, belum banyak alasan buat nolak diajak pergi.”

“Iya, mbakyu, mas. Hati-hati. Bener banget itu, mbakyu. Semoga kita bisa liburan bareng lagi kayak gini. Tia, salim dulu sama mami-papinya Al.”

“Dadah, Tia. Hati-hati ya. Jangan lupa sama janji kita. Tia tunggu Al yaa.”

15 tahun kemudian

“Huft, finally, proyek impian gue waktu kecil terealisasi juga. Semoga dia suka ya. Ngomong-ngomong, dia kayak apa ya sekarang? Udah lama gue ga ketemu sama dia. Terakhir ketemu, dia nangis jerit-jerit waktu gue tinggal ke Belanda. Ini udah hamper setahun gue balik, gue belum ketemu dia satu kalipun. Hmm, tanya mami ah. Siapa tau mami punya info terbaru tentang dia.”
Belum sempat dia keluar dari ruangan tempat dia berada sekarang, yang dicari-cari daritadi datang ke ruangannya, ingin mengajak makan siang bersama.

“Hai, nak. Sibuk, ngga, kamu siang ini? Temenin mami makan siang yuk. Mami laper. Papi kamu sibuk meeting. Mami sebel sama papi.”

“Hai, mi. Kebetulan banget, Al baru mau keluar cariin mami di ruangannya papi. Ada yang mau Al tanyain sama mami soal Tia, mi. Tia kemana sih, mi? Udah hampir setahun, Al balik dari Belanda, Al belum ketemu sama Tia. Al kan kangen, mi. Al mau menuhin janji Al ke Tia dulu waktu kecil. Mami tau ngga, kira-kira Tia dimana?”

I Love You, Kiran


Sakit rasanya melihat orang yang aku sayang menangis karena disakiti. Bukan, bukan aku yang menyakitinya. Tapi, dia, sahabatku, yang entah masih sanggup aku panggil sahabat atau tidak, yang telah menyakitinya. Entah apa yang ada di pikirannya, hingga ia mampu membuatnya sakit seperti ini. Entahlah, aku tak ingin mengorek dan terlalu ikut campur lebih dalam. Biarkan dia menikmati sakit hatinya. Dan kuharap itu tak akan lama.

"Jadi..."

"Apanya yang jadi, huh?"

"Gimana perasaanmu sekarang?"

Dia hanya diam tak menjawab pertanyaanku. Aku hanya bisa menghela nafas dan kembali menyenderkan punggungku pada batang pohon itu. Kiran kemudian melakukan hal yang sama dengan yang kulakukan. Menyenangkan sebenarnya tingkah kami berdua, namun menjadi menyebalkan melihat dia belum bisa menyembuhkan sakit hatinya.

"Kiran, kamu tak bisa bersikap seperti ini terus menerus. Berpikirlah realistis. Berarti dia memang bukan jodohmu. Come on, kembali seperti Kiran yang kukenal dulu. Apa air matamu belum habis untuk menangisi laki-laki seperti dia?"

"Aku ngga apa-apa, Ngga, sungguh. Tak usah kau khawatir berlebihan tentangku", Dia mencoba untuk tersenyum walaupun itu gagal sama sekali. "Aku hanya bersyukur mengetahui keburukannya sebelum terlambat."

Kiran menghela nafasnya kembali seakan-akan ada separuh bebannya terangkat. Aku mencoba tersenyum melihat apa yang terjadi saat ini. Yah, setidaknya Kiran-ku pelan-pelan mulai kembali lagi. Kuraih tangannya untuk sekedar menenangkannya. Jujur, aku takut jika dia menangis lagi. Ingin rasanya aku memeluknya, tapi aku takut dia menjauhiku.

"Kenapa, Ngga?"

"Aku hanya ingin kamu tau, Kiran. Aku tak akan pergi kemana-mana, selalu ada disampingmu. Dan kamu juga tau kemana harus mencariku jika kamu membutuhkanku. I always be with you, beside you, never leave you. Promise."

Hai, kalian semua

Hai kalian..

Kali ini saya mencoba menulis (lagi) oneshoot stories demi menyalurkan segala macam ide yang lagi demen berkeliaran di otak saya. Rencananya sih pingin bikin 30 cerita dengan judul yang berbeda, dan target saya sampai Mei 2015.

Semoga kalian, pembaca setia wattpad yang nemuin cerita saya ini dengan senang hati mau membaca, dan memberikan vote dan commentnya. Karena itu sangat berguna untuk kepenulisan cerita saya selanjutnya.

Kalau ada yang mau request akhir cerita dari oneshoot story ini boleh. Tapi, sesuai sama judulnya yaa. Mau happy end atau berakhir dengan sad ending.

O ya, salah satu cerita disini ada yang merupakan kisah saya pribadi lho. Yang mana? Coba ayo tebak.

Walaupun cerita saya ini rada gaje, abal-abal, alay, dkk, semoga aja ada yang suka.

Happy Reading, dear :)

Hope you'll like it :)

Custom Post Signature

Custom Post  Signature