Seharusnya bukan namanya yang tercetak di undangan bertinta emas itu. Bukan dia yang menjadi pengantin hari ini, tapi aku. Tak taukah dia rasa sakit yang aku rasakan? Aku cinta dia, tapi kenapa dia tak pernah melihatku sedikit pun. Kenapa dia memilih meletakkan hatinya untuknya bukan untukku? Aku tau, aku hanya pengganti untuknya. Pernikahan ini pun seharusnya antara dia dan pilihan hatinya bukan denganku. Wanita itu pergi selamanya dari hidupnya dan dua minggu yang lalu, ia memintaku untuk menggantikan posisi wanitanya saat pernikahannya berlangsung. Tuhan, apa salahku selama ini padanya?
“Gue
mau mandi habis itu gue mau tidur. Siapin baju gue. Gue nggak mau tau, begitu
gue balik ke kamar ini, semuanya udah siap. O ya, satu lagi, loe tidur di sofa.
Gue nggak mau tidur bareng sama loe di tempat tidur. Ngerti?”
“Iya,
aku ngerti. Nanti aku siapin keperluan kamu. Terima kasih”.
Tak
lama dia pun keluar dari kamar ini, hingga saat ini aku tak berani menyebutnya ‘kamar
kami’. Karena memang ini bukan ‘kamar kami’. Aku bahkan tak punya lemari
disini. Semua bajuku masih tersimpan rapi di dalam koper. Aku tak punya benda
apa pun di kamar ini bahkan di rumah ini sekalipun. Semua miliknya dan wanita
yang seharusnya menikah dengannya. Aku hanya pengganti saja, dia pun hanya
menganggapku seperti itu. Kalau kalian bertanya, hubungan dalam rumah tangga
kami? Aku akan jawab, tak ada hubungan apapun. Sentuhan pun tak ada. Apalagi panggilan
sayang, tak pernah ada. Bagaimana dia memanggilku? Namaku yang dia panggil
dengan nada tinggi itupun hanya sesekali, selebihnya tak pernah dia menyebut
namaku. Hanya kesan dingin di dalam rumah tangga kami.